Kisah ini menceritakan ada suatu perkampungan yang diberi
nama 'Talang Gelumbang'. Penduduk awalnya hanya dihuni tujuh buah rumah
oleh beberapa keluarga yang dipimpin oleh tiga tokoh masyarakat yaitu
pertama Puyang Beremban Besi seorang pahlawan, penduduk asli yang
mempunyai kekuatan kebaal terhadap berbagai senjata tajam, kedua Bujang
Merawan selaku pimpinan Pemerintahan, dan ketiga adalah Cahaya Bintang
selaku pimpinan adat.
Di antara ketiga tokoh tersebut ada yang berasal dari Cirebon
anak Mangkubumi dari kesultanan CCirebon karena kebijaksanaan dan
wibawaa mereka, desa kecil itu terus berkembang, satu persatu rumah
bertambah, karena banyak daya tarik dari desa ini, akhirnya desa ini
menjadi perkampungan yang ramai.
Mata pencaharian penduduk desa ini adalah bercocok tanam dan
sebagai nelayan, kehidupan masyarakat desa ini selalu dalam suasana aman
dan damai. Sekitar tahun 1600 datanglah seorang yang tak dikenal dengan
kapal layar bernama 'Tuan Bangsali', beliau ternyata seorang ulama,
beliau menyebarkan agama islam sehingga penduduk baik laki-laki maupun
perempuan belajar agama islam.
Tuan Bangsali memilih Thalib Wali sebagai orang
kepercayaannya atau orang yang pandai ilmu agama.
Setelah kedatangan Tuan Bangsali desa ini mengalami
perkembangan yang pesat, karena kampung ini kecil dan kurang memadai
maka pemimpin desa ini memperluas kampung dan memindahkan penduduknya ke
seberang yang diberi nama Napal.
Di desa Napal ini mereka membangun perkampungan baru dan
banyak rumah kokoh berdiri, kemudian penduduk membangun sebuah Balai
Desa yang cukup besar dan sebuah Pangkalan tempat berlabuhnya perahu
dagang dan perahu nelayan Pangkalan ini diberi nama Pangkalan Napal atau
Pangkalan Bangsali.
Beberapa tahun kemudian Puyang Beremban Besi wafat dan
berwasiat agar dimakamkan di hilir dusun (kira-kira dua kilometer dari
Boom Berlian) teernyata di tempat makam beliau ditumbuhi nipah kuning.
Setelah wafatnya Puyang Beremban Besi kemudian Bujang Merawan dan Cahaya
Bintang pun mengundurkan diri karena sudah tua dan sering
sakit-sakitan.
Akhirnya kepemimpinan beralih ke tangan Thalib Wali. Kemudian
Thalib Wali menunjuk dua orang yaitu Puyang Rantau Pendodo sebagai
kepala pemerintahan dan Muning Cana sebagai orang yang gagah berani.
Thalib Wali ini bernama Munai maka orang-orang desa ini
memanggil beliau dengan sebutan 'Muning Munai'. Karena perkembangan desa
dan keadaan pemerintahan yang kurang memadai, maka Thalib Wali
mengambil kebijaksanaan bersama musyawarah rakyat setempat untuk memilih
wakil-wakilnya, mereka yang terpilih adalah Ngunang sebagai Rio (kerio)
Desa inni untuk pertama kalinya. Kemudian Thalib Wali ditetapkan
menjadi khotib yang mengemban tugas agama sebagai pencatat nikah, tolak,
dan rujuk, mengurus kelahirran dan kematian serta mengurus persedekahan
rakyat.
Beberapa tahun kemudian Tuan Bangsali menilai adda beberapa
orang yang pandai ilmu agama islam mereka adalah Thalib Wali dan Dul.
Sedangkan Dul berasal dari Talang Majapani (Lubuk Rengas) dan
kedua orang ini diajak pergi haji ke tanah suci Mekkah dengan
menggunakan perahu layar. Setahun kemudian mereka yang pergi haji
tersebut kembali ke desa ini, yaitu Serumpun Pohon Paojenggih dan
Serumpun Pohon Beringin Nyusang.
Dengan ketentuan harus ditanam di dusun, pohon Poejenggih
ditanam di sebelah kiri naik dan Pohon Beringin Nyusang ditanam di
sebelah kanan naik, sedangkan Dul membawa serumpun Maje, dari tahun ke
tahun dusun ini terus mengalami kemajuan dan masih tetap bernama 'Talang
Gelumbang' dan pangkalannya masih tetap bernama Pangkalan Bangsali.
Setelah 40 tahun, wafatlah Kerio Ngunang, kerena perkembangan
dusun sangat pesat maka dipilih seorang pasira (Depati) oleh Susuhunan
Raja-raja Palembang, yang kedudukan di dusun Limau.
Menurut ceritanya, Dusun Limau ini dibuat oleh anak dalam
Muara Bengkulu. Rio ayung seorang anak dari Mangku Bumi Kesultanan
Majapahit padda waktu Majapahit jatuh kekuasaannya, maka kelima anak
dari Mangku Bumi melarikan diri ke Sumatera yaitu yang tertua ke daerah
Sung Sang bernama Ratu Senuhun, yang kedua di daerah Limau bernama Rio
Bayung, yang ketiga di daerah Betung bernama Rima Demam, dan dua orang
wanita di daerh Abad Penungkal (Air Hitam).
Ratu Senuhun pada waktu berlayar
perahunya tersangsang (tersangkut) dan tidak bias turun lagi, maka
daerah tersebut dinamakan Sung Sang, tetapi sebenarnya adalah Sang-Sang,
sedangkan Depati Bang Seman, anaknya yang menjabat sebagai depati,
namun istrinya meninggal, maka Depati Buta, karena matanya buta sebelah,
tetapi kewibawaannya tinggi dan pergaulannya sangatlah luas, maka
orang-orang hormat padanya. Setelah tujuh tahun beliau memegang tampuk
pemerintahan, kemudian beliau sakit dan wafat.
Setiap dusun yang ada Rio (kepala desaa) harus mempunyai seorang
khotib, yang bertugas mencatat nikah, tolak, rujuk, kematian, kelahiran,
dan persedekahan rakyat. Perhubungan laut di Dusun Limau sulit untuk
dijangkau maka diambil suatu kebijaksanaan bahwa pemerintahan Stap
Pasirah dipindahkan ke Dusun Galang Tinggi. Dusun Galang Tinggi konon
ceritanya dibuat oleh si Pahit Lidah, setelah di dusun Galang Tinggi
diadakan musyawarah dan hasil musyawarah itu terpilihlah Depati Jebah
sebagai depati pertama di dusun Galang Tinggi, lima tahun kemudian Jebah
wafat dan digantikan oleh depati Renyab.
Konon kabar di suatu desa yang bernama dusun Galang Tinggi, dusun ini
dibuat oleh seorang yang sangat sakti mandraguna karena apa yang
diucapkannya akan menjadi misalnya, seekor gajah yang sedang menyeberang
laut si Pahit Lidah berucap menjadi batu maka gajah itupun akan berubah
menjadi batu dan banyak lagi kejadian-kejadian yang lain. Oleh karena
itu, dia dijuluki si Pahit Lidah dan bukti-bukti peristiwa itu masih
dapat kita saksikan sampai sekarang. Di dusun Galing Tinggi ini kemudian
ada pertarungan untuk memilih depati harus dengan keputusan musyawarah
bersama, maka terpilihnya seorang yang bernama mentadi. Mentadi adalah
saudara kandung ibu Depati Berdin yang bungsu Thalib Wali bernama
Mentadi dipilih menjadi depati.
Setelah lebih kurang empat tahun Mentadi menjadi depati di Tanjung
Menang terjadi kemarau panjang selama Sembilan bulan. Pada waktu itu
kayu bergesekan maka keluarlah api, pada saat itu pula Mentadi sedang
membuat sebuah ladang ketika ia membakar ladangnya untuk dibersihkan
ternyata api itupun menyebar luas lalu membakar hutan-hutan dan
kampong-kampung kecil sekitarnya ada dua rumah yang di dalamnya ada
orang tua yang sedang sakit dan anak berumur dua tahun ikut terbakar dan
meninggal dunia.
Karena peristiwa itu
maka Depati Mentadi dijatuhi hukuman oleh hakim pada waktu itu, dia
dihukum selama tiga tahun penjara dan diberhentikan sebagai depati.
Penjara (obak) itu dinamakan Macan Lindung, akan tetapi Mentadi
mempunyai sahabat karib yang bernama Marem Bubok dan Jamaer yang nama
aslinya Tamsi.
Kedua sahabat Mentadi
mengharap pengadilan akan menemani Mentadi selama dalam penjara,
pengadilan pun memperbolehkan, akhirnya hukuman Mentadi diputuskan hanya
satu tahun berkat bantuan sahabatnya itu. Setelaah Mentadi berhenti
dari jabatannya sebagai depati, maka dari hasil musyawarah terpilihlah
pak Betiah sebagai depati dan beliau digelari sebagai Depati Bungkuk,
saying beliau ini buta huruf dan hanya bisa menjabat depati selama tiga
tahun.
Semasa pemerintahan
Depati Bungkuk Palembang telah jatuh kepada pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian Depati Bungkuk berhenti hasil musyawarah terpilih kembali
Mentadi sebagai Depati untuk jabatan selama dua puluh tahun. Pada masa
kepemimpinan Depati Mentadi pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda
dating ke dusun Tanjung Menang dan menanyakan mengapa nama dusun ini
Tanjung Menang dan nama Pangkalannya adalah Pangkalan Bangsali, Depati
Mentadi menerangkan bahwa dinamakan Tanjung Menang karena dusun ini
telah berhasil memenangkan peperangan melawan Lanun (bajak laut)
sedangkan Pangkalan Bangsali karena dibuat oleh Tuan Bangsali sendiri.
Setelah Pemerintah Hindia Belanda mendengar alasan yang dikemukan oleh
Depati Mentadi, maka mereka mengadakan musyawarah untuk mengubah nama
dusun Tanjung Menang menjadi Pangkalan Bali oleh karena dusun Tanjung
Menang mempunyai Balai maka namanya pun diubah menjadi Pangkalan Balai.
Pangkalan Balai adalah pelabuhan Balai tempat pertemuan oleh karena itu,
Pangkalan Balai mempunyai arti tempat berlabuh yang digunakan untuk
pertemuan-pertemuan.
Itulah asal usul nama
kota Pangkalan Balai yang terletak di Kabupaten Banyuasin Provinsi
Sumatera Selatan yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Banyuasin
sejak 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar